Bab 1: Ritme Sempurna Udin
Pukul 06:00 pagi. Alarm berbentuk kodok hijau di nakas Udin
bergetar pelan. Tidak ada suara nyaring, hanya getaran lembut yang cukup untuk
membangunkan Udin Saprudin, 32 tahun. Udin adalah seorang pria lajang
dengan janggut tipis yang selalu rapi. Begitu mata terbuka, ia langsung meraih
kacamata tipisnya. Dunia yang tadinya buram kini terlihat jelas dan tajam.
Ia bangun dari tempat tidur dengan perlahan, tidak
terburu-buru. Sprei dirapikan tanpa satu pun kerutan. Bantal ditepuk empat
kali, tidak kurang tidak lebih, sampai terasa pas. Bagi Udin, ini bukan cuma
soal kerapian, tapi soal memulai hari dengan teratur, yang menurutnya
akan membuat hari jadi lebih produktif.
Di kamar mandi, sikat gigi diletakkan miring 45 derajat dari
keran wastafel. Sabun cuci muka diletakkan menghadap ke depan. Udin menggosok
giginya selama tepat dua menit, sesuai waktu di jam tangan digitalnya. Air
hangat untuk mandi disetel pada suhu 38 derajat Celsius, diukur dengan
termometer khusus—suhu yang paling pas untuk membuat otot rileks dan badan
segar.
Sarapan adalah hal yang paling penting. Dua lembar roti
gandum panggang, tanpa gosong sedikit pun, diolesi selai kacang murni. Di
sebelahnya, segelas jus jeruk peras yang ia saring dua kali agar tidak ada
ampas. Piring diletakkan di tengah meja makan dengan sangat simetris, sejajar
dengan jendela yang memperlihatkan pemandangan gang sempit Jakarta yang baru
ramai.
"Pagi yang raatur, adalah awal dari hari yang
bersih," gumam Udin pada dirinya sendiri, seolah sedang menyetel ulang
pikirannya untuk hari itu.
***
Perjalanan Udin dari apartemennya di Jakarta Selatan menuju
kantor PT. Ide Segar Nusantara di pusat kota adalah sebuah tantangan.
Kemacetan Jakarta adalah sesuatu yang paling tidak bisa ia duga. Namun, Udin
punya cara unik untuk menghadapinya.
Ia tidak memakai aplikasi peta. Udin punya sistem sendiri.
Ia mencatat pola lampu lalu lintas di setiap perempatan, menghitung berapa lama
rata-rata ia harus menunggu, dan mengamati kebiasaan tukang ojek online
yang suka sembunyi di pinggir jalan. Semua data ini, yang ada di kepalanya, ia
pakai untuk menebak kapan macet akan datang dan pergi.
Di dalam angkutan umum yang padat, Udin duduk tenang dekat
jendela. Ia mengeluarkan buku catatan kecil bersampul hitam dari tasnya. Buku
ini berisi semua pengamatannya. Hari ini, ia mencatat: "Pola gerakan
tangan pedagang asongan yang paling sering menarik perhatian: tangan diangkat
ke atas, lalu digerakkan ke samping dengan cepat, berulang setiap beberapa
detik."
Matanya yang tajam melihat setiap hal kecil di sekitarnya.
Udin bukan mengamati pemandangan, tapi mencari informasi, mencari pola, dan
menemukan hal-hal yang tidak biasa. Ia bisa tahu toko kelontong mana yang
rokoknya paling cepat habis hanya dengan melihat berapa banyak orang yang lewat
di depannya. Atau jam berapa tukang es doger paling ramai karena suara
keramaian anak sekolah.
"Setiap informasi itu penting," bisik Udin pelan,
menuliskannya di buku catatan. Kalimat yang mungkin terdengar keren di
perusahaan teknologi besar, tapi sedikit aneh keluar dari mulut team leader
di kantor top-up game bernama PT. Ide Segar Nusantara.
***
Pukul 08:30. Udin sampai di kantornya. Gedungnya tampak
biasa, tapi di dalamnya ada kekacauan yang luar biasa. Kantor PT. Ide Segar
Nusantara berada di lantai 7 sebuah gedung tua yang berbau debu dan kopi
lama. Nama kantor itu sendiri seperti lelucon. Awalnya, pendirinya ingin kantor
ini punya banyak ide lucu dan nyeleneh. Tapi yang terjadi, kantor ini
malah jadi sumber komedi, dan bagian "nyeleneh" itu ada pada cara
kerja mereka sehari-hari.
Udin masuk. Hal pertama yang ia lakukan adalah menekan
tombol lift dengan jari telunjuk kanan. Menurutnya, jari itu punya
"energi" yang lebih kuat dan bisa membuat lift datang lebih cepat
0.03 detik. Ia sudah membuktikannya sendiri.
Begitu pintu lift terbuka di lantai 7, bau popcorn
gosong langsung tercium tajam. Itu tandanya Pak Wibowo "Bowok"
Prakoso, sang Bos Besar, sudah datang dan sedang mencoba mesin popcorn
barunya yang ia beli pas lagi diskon besar. Ini hal biasa. Pak Bowok adalah
orang yang paling tidak bisa ditebak dalam hidup Udin, seperti mencoba menebak
arah angin di tengah badai.
Udin langsung menuju mejanya. Meja kerjanya adalah tempat
yang sangat rapi. Monitor komputer lurus sempurna dengan meja. Keyboard dan mouse
diletakkan pada jarak yang pas dari monitor. Di samping monitor, ada tiga
pulpen, dua pensil, dan satu stabilo. Pulpen disusun berdasarkan warna: biru,
hitam, merah. Pensil diraut sempurna. Stabilo diletakkan tegak lurus.
Bahkan alat tulis pun punya peran dalam sistem Udin. Ia
percaya, pulpen biru untuk ide-ide bebas, hitam untuk rencana
pasti, dan merah untuk koreksi atau hal penting. Pensil untuk
coretan awal yang bisa diubah, dan stabilo untuk menandai "ide
cemerlang" yang tiba-tiba muncul.
***
Rutinitas pagi Udin di meja kerja adalah seperti sebuah lagu
yang hanya ia yang mengerti.
Langkah 1: Menata Kursi. Udin menarik kursinya,
memastikan jaraknya dari meja adalah 65 cm. Ini jarak yang paling nyaman dan
pas untuknya.
Langkah 2: Memeriksa Monitor. Ia menyalakan monitor,
memastikan pengaturan warna dan terang layarnya sama dengan kemarin. Tidak
boleh ada titik hitam di layar. Kalau ada, ia akan langsung melaporkannya ke
bagian IT dengan bukti foto.
Langkah 3: Mengatur Alat Tulis. Udin membuka laci
kecilnya yang sudah dilabeli rapi. Di dalamnya, ada banyak post-it
berbagai warna. Ia mulai menyusunnya. Post-it kuning untuk ide yang
sudah matang, hijau untuk tugas yang sedang berjalan, biru untuk
tugas yang tertunda, dan merah untuk batas waktu yang mepet. Hari ini,
ia melihat satu post-it biru yang seharusnya sudah hijau. Dahinya
berkerut. Ini kesalahan kecil yang harus segera dibetulkan.
Ia mengambil spidol hitam dan mulai menulis daftar
tugas harian di papan tulis mini di mejanya. Tulisannya sangat rapi, seperti
dicetak. Setiap huruf 'A' tingginya sama dengan setiap huruf 'Z'.
Langkah 4: Melihat Data Penjualan Kemarin. Udin
membuka data penjualan top-up game kemarin di komputernya. Angka-angka
ini adalah jantung kantor. Ia tidak hanya melihat total penjualan, tapi juga
menganalisis:
- Berapa
banyak top-up 10.000 rupiah yang terjual jam 2 sore?
- Apakah
penjualan barang langka bertambah di hari libur?
- Bagaimana
suhu udara di luar kantor (ia punya termometer sendiri di jendela)
mempengaruhi penjualan game tembak-tembakan?
Ia punya grafik warna-warni yang otomatis muncul dari
datanya. Grafik ini adalah hasil karyanya. Ia bisa melihat perubahan kecil apa
pun, dan ia yakin ada pola tersembunyi di balik setiap naik turunnya penjualan
yang bisa ia manfaatkan.
***
Tiba-tiba, pintu ruangan Pak Bowok Prakoso, sang Bos
Besar, terbuka dengan suara keras. Bau popcorn gosong yang tadinya
samar, kini sangat tajam. Pak Bowok muncul. Ia adalah pria paruh baya yang
selalu memakai kemeja batik warna-warni yang berbeda setiap hari. Rambutnya
disisir rapi ke belakang dengan minyak rambut yang terlalu banyak, dan
senyumnya selalu lebar sekali.
"Selamat pagi, tim!" serunya dengan suara lantang.
"Ada yang mencium bau sukses? Ah, itu popcorn saya, sedikit gosong!
Tapi ide saya tidak akan gosong, saya jamin! Ini adalah awal revolusi!"
Udin merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari
biasanya. Ini pertanda bahaya. Setiap kali Pak Bowok memulai kalimat dengan
"ide saya tidak akan gosong," itu berarti akan ada proyek mendadak
yang akan mengganggu semua rencana Udin.
"Udin!" panggil Pak Bowok, menunjuk Udin dengan
jempol tangannya. Udin menelan ludah. Jempol Pak Bowok adalah penentu bahaya.
Jempol ke atas berarti ide yang sedikit aneh. Jempol ke samping berarti ide
yang aneh tapi masih bisa diterima. Jempol ke bawah... itu artinya masalah
besar. Kali ini, jempolnya mengarah lurus ke Udin, seperti anak panah.
"Saya baru saja dapat ide gila! Saya lagi coba resep popcorn
rasa rendang, dan tiba-tiba! Jeder! Ide marketing brilian
muncul!" Pak Bowok menepuk tangan sekali, membuat beberapa rekan tim lain,
termasuk Joko "Jojon" Susilo yang lagi asyik bikin meme,
kaget dan hampir menumpahkan kopinya. "Bagaimana kalau kita bikin kampanye
'Top-Up Penuh Sensasi, Rasa Menang di Setiap Gigitan!'? Kita akan kirim voucher
top-up dengan bonus popcorn rasa aneh! Rasa jengkol, rasa durian,
rasa... hmm... bumbu nasi goreng!"
Udin, dalam hati, mencoba mencerna ini. Popcorn rasa
rendang. Voucher dengan bonus popcorn rasa jengkol. Ia mencoba
mencari hubungan antara "sensasi" dan "rasa menang". Apakah
ada data penjualan top-up game yang naik setelah makan makanan pedas? Ia
tidak punya data itu. Ini adalah lubang kosong dalam sistemnya.
"Udin, saya ingin kamu pimpin tim untuk proyek
ini!" kata Pak Bowok, semangatnya meluap-luap. "Buat alur kerjanya
bagaimana popcorn ini akan bikin orang lebih semangat main game! Cari
data tentang hubungan antara senang makan dan jago main game! Saya yakin
ada!"
Udin diam. Alur kerja tentang popcorn rasa jengkol?
Data hubungan antara senang makan dan jago main game? Ini adalah kekacauan
yang ia benci. Ini adalah hal yang tidak ia duga, seperti virus yang merusak
data rapi di komputernya.
Rekan-rekan tim lain, beberapa di antaranya menahan tawa,
menatap Udin dengan kasihan. Mereka tahu, kalau Pak Bowok sudah mengeluarkan
ide popcorn aneh, Udinlah yang akan jadi korbannya. Ria
"Riang" Permata, yang biasanya selalu ceria, kini hanya bisa
menggigit bibirnya, khawatir dengan nasib bos timnya.
***
Udin melihat kembali ke mejanya yang rapi. Spidol tertata
sempurna. Post-it tersusun rapi. Monitor menyala dengan data yang
teratur. Dan sekarang, semua itu harus berhadapan dengan popcorn rasa
jengkol dan "senang makan"—sebuah hal yang jauh dari angka yang bisa
ia hitung.
Perjuangan utama Udin bukan cuma tentang menjaga kerapian
luar, tapi juga menjaga pikiran sehatnya di tengah kekacauan tak
berujung dari Pak Bowok. Ia memang canggung dalam bergaul, ya. Ia memang
terobsesi, ya. Tapi semua itu adalah caranya melindungi diri dari dunia yang
terlalu acak. Ia percaya bahwa di balik setiap kekacauan, pasti ada pola. Tugasnya
adalah menemukan pola itu, memahaminya, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang
bisa diukur dan ditebak.
Tapi popcorn rasa jengkol? Ini adalah tantangan
terbesarnya. Apakah ada pola dalam keanehan yang ekstrem ini? Atau ini adalah
sesuatu yang harus ia terima dan sesuaikan, seperti perubahan cuaca yang tak
bisa dihindari? Ia merasa sedikit ragu. Apakah semua ritualnya selama ini hanya
khayalan?
Udin mengambil pulpen biru, yang seharusnya untuk ide-ide
bebas. Tangannya sedikit gemetar. Ia menatap papan tulis mini di mejanya.
Seharusnya ia menulis daftar tugas harian. Tapi yang terbayang di kepalanya
adalah grafik penjualan yang naik, bukan karena strategi marketing yang
bagus, melainkan karena popcorn rasa jengkol yang ia bagikan dengan alur
kerja yang didasari "senang makan" dan "sensasi menang di setiap
gigitan".
Ia menarik napas panjang. Ia harus menemukan cara untuk
mengatur kekacauan ini. Ia harus menemukan angka di balik hal aneh ini. Ia
harus mencari pola di antara sisa-sisa popcorn gosong yang kini memenuhi
udara kantor.
Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini adalah misi pribadi
Udin Saprudin. Sebuah misi untuk membuktikan bahwa bahkan dalam kekacauan
yang paling tidak masuk akal sekalipun, keteraturan bisa ditemukan. Dan
mungkin, obsesinya yang unik justru adalah kunci untuk menghadapi dunia yang
aneh ini, seperti peta di tengah hutan belantara.
"Oke, Pak Bowok," suara Udin terdengar lebih
tenang dari yang ia kira, meski ia harus berjuang mengeluarkan kata-kata. Ia
sudah mulai mengaktifkan mode "analisis hal aneh". "Boleh saya
dapat contoh popcorn rasa rendang dan jengkol itu? Saya perlu mencoba
rasa akhirnya, teksturnya di mulut, dan tingkat rasa kebas di lidah
untuk mengukur 'senang makan' ini secara angka."
Pak Bowok tersenyum lebar, puas mendengar jawaban yang ia
anggap "profesional". "Itu baru Udin kita! Analisis yang
mendalam! Saya suka itu! Ayo, ke dapur sekarang, kita mulai bikin banyak! Saya
sudah siapkan bumbu instan rendang dan jengkol dari warung Bu Jum di
seberang!"
Udin bangun dari kursinya, melihat sebentar ke tumpukan post-it
biru yang belum ia sentuh, yang seharusnya berisi tugas-tugas yang tertunda.
Sekarang, ia harus menghadapi popcorn jengkol. Babak baru dalam hidupnya
yang teratur telah dimulai, sebuah babak yang tak pernah ia duga akan
melibatkan indra pengecapnya secara serius.
Bab ini berakhir dengan Udin yang berjalan lesu namun dengan pikiran yang bekerja keras, menuju dapur kantor. Di benaknya, ia mulai menghitung berapa kali kunyahan yang dibutuhkan untuk merasakan rasa akhir jengkol yang pas, dan bagaimana itu bisa mempengaruhi lama seseorang bermain game dalam hitungan detik. Sebuah perjuangan yang baru saja dimulai, antara data yang rapi dan rasa jengkol yang melekat di lidah.