BAB 1 - Bisikan Bayangan

BAB 1 - Bisikan Bayangan -  Udara di Dimensi Bayangan tidak pernah terasa dingin, namun selalu membekukan. Bukan suhu yang menusuk tulang, melainkan ketiadaan. Ketiadaan warna, ketiadaan suara riang, ketiadaan harapan. Hanya ada nuansa kelabu abadi, dihuni oleh siluet-siluet yang bergerak tanpa jejak, dan bisikan-bisikan konstan yang merayap di benak. Bagi Kael, bisikan itu adalah melodi kematian yang telah ia hafal sejak pertama kali belati bayangan diletakkan di genggamannya yang masih mungil.

Ia berdiri di ambang Nexus Nocturnus, jantung sekaligus penjara Klan Malam. Energi gelap memancar dari celah-celah di bebatuan obsidian yang membentuk struktur kuno ini, menerangi wajahnya yang terpahat tajam, memantulkan cahaya redup di mata abu-abunya yang biasanya dingin. Hari ini, mata itu bergetar. Bukan karena ketakutan—Kael tidak mengenal rasa takut—melainkan karena gejolak yang lebih dalam, sesuatu yang selama ini ia tekan di bawah lapisan baja ketidakpedulian yang diajarkan Klan Malam.

Di sekelilingnya, para Penjaga Mantra Bayangan lainnya bergerak dalam keheningan sempurna, melatih refleks mereka di antara bayangan yang menari. Mereka adalah para assassin elit, setiap gerakan mereka adalah tarian mematikan, setiap sentuhan belati mereka adalah akhir dari sebuah kehidupan. Kael adalah yang terbaik di antara mereka, puncaknya. Tangannya yang ramping namun kuat mampu merobek dimensi dengan sihir bayangan, memanifestasikan belati-belati tajam dari ketiadaan, dan bergerak lebih cepat dari kilatan petir, meninggalkan jejak bayangan yang menipu indera. Gelarnya, Pembunuh Mantra Bayangan, adalah sebuah deklarasi, sebuah takdir yang telah ditorehkan baginya bahkan sebelum ia menghirup udara kelabu dimensi ini.

Tapi ramalan. Ramalan sialan itu.

Kael mendesah pelan, suara yang hampir tidak terdengar di antara bisikan dimensi. Bukan desahan kelelahan fisik, melainkan kelelahan jiwa. Sejak usia muda, ia telah diistimewakan, dianggap sebagai "Anak Ramalan". Para Tetua Klan, dengan mata mereka yang buta namun melihat jauh ke depan, telah meramalkan kedatangannya. "Seorang yang lahir dari bayangan paling pekat, namun jiwanya memiliki percikan cahaya yang asing. Dia akan menjadi kunci kehancuran Klan Malam, atau penuntun menuju dominasi tertinggi." Itulah intinya. Sebuah takdir dikotomis yang mengerikan.

Selama bertahun-tahun, Klan Malam telah berusaha memahat Kael menjadi bagian dari skenario dominasi. Mereka memberinya kekuatan tak terbatas, melatihnya hingga batas kemampuan manusia mana pun, menanamkan kesetiaan buta pada ordo. Mereka percaya, dengan mengendalikan percikan cahaya asing itu, mereka bisa menguasai dimensi lain, meluaskan pengaruh Klan Malam ke setiap celah realitas. Tapi Kael tahu. Percikan itu bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan. Itu adalah jiwanya.

"Kau gelisah, Kael."

Suara itu datang dari belakangnya, lembut namun menusuk, seperti bilah belati yang dipoles sempurna. Itu adalah Lady Morwen, Tetua Klan yang paling disegani, seorang wanita tua dengan rambut seputih salju dan mata yang lebih gelap dari malam tanpa bintang. Dia adalah mentor Kael, sekaligus penjaganya.

Kael tidak berbalik. "Aku memikirkan tugas yang menanti," jawabnya datar, suaranya seperti serutan es.

Morwen melangkah mendekat, aura dinginnya menyelimuti. "Tugasmu adalah kehormatan. Adalah takdir."

"Takdir yang dipaksakan," Kael akhirnya berbalik, tatapannya bertemu dengan Morwen. "Ramalan itu, Lady Morwen, hanya membelenggu."

Wajah Morwen yang keriput sedikit berkerut. "Belenggu memberimu tujuan, Kael. Tanpa itu, kau hanyalah bayangan tanpa arah, seperti miliaran jiwa yang tersesat di antara dimensi."

"Aku lebih suka tersesat di antara miliaran jiwa itu, daripada menjadi alat," balas Kael, suaranya sedikit meninggi. Ini adalah pengkhianatan, sebuah bid'ah yang nyaris tak termaafkan di Klan Malam. Tetapi ia telah mencapai batasnya.

Morwen mengangkat tangannya, sebuah isyarat untuk menghentikan latihan para Penjaga lainnya. Udara menjadi lebih tebal, bisikan-bisikan mereda. Fokus semua mata, bahkan yang tak terlihat, tertuju pada Kael.

"Kata-kata berbahaya, Kael," Morwen mengingatkan. "Kita memberimu kekuatan, pengetahuan, dan tempatmu di dunia. Apa lagi yang kau inginkan?"

"Kebebasan," jawab Kael, kata itu melayang di udara yang beku. "Kebebasan untuk memilih jalan saya sendiri, untuk tidak menjadi bidak dalam permainan kekuatan kalian, entah itu kehancuran atau dominasi."

Morwen tertawa pelan, tawa yang tidak memiliki kehangatan. "Kebebasan adalah ilusi, Nak. Setiap makhluk terikat pada sesuatu. Kau terikat pada kekuatanmu, pada darahmu, pada ramalan ini. Mengapa tidak merangkulnya?"

"Karena ramalan itu mengancam untuk menghancurkan saya, bukan hanya membentuk saya," Kael berbisik, memikirkan mimpi buruk yang menghantuinya. Visi tentang dirinya, sebuah boneka yang dikendalikan oleh bayangan, melenyapkan segalanya, bahkan dirinya sendiri. "Dan saya tidak akan menjadi itu."

"Kalau begitu, kau mengkhianati Klan Malam," ucap Morwen, suaranya kini sekeras obsidian. Matanya menyala dengan cahaya ungu gelap, energi bayangan mulai berkumpul di sekelilingnya. "Kau memilih kehancuran yang diramalkan."

"Tidak," Kael mengangkat tangannya, belati bayangan pertama muncul di antara jari-jarinya. Itu adalah belati yang diukir dari ketiadaan, tepi-tepinya menyerap cahaya di sekitarnya. "Aku memilih jalan ketiga. Jalan yang belum terungkap."

Pertarungan pecah dalam sekejap mata. Klan Malam dikenal karena kecepatan dan kesunyiannya. Morwen, meskipun tua, adalah seorang master sihir bayangan yang telah hidup selama berabad-abad. Dia melancarkan serangan bayangan yang tak terhitung jumlahnya, setiap sapuan tangannya menciptakan tirai kegelapan yang menusuk. Kael menghindar, meluncur di antara serangan-serangan itu seperti hantu, siluetnya berkedip-kedip.

Dia adalah seorang assassin yang ulung, dan setiap gerakannya adalah sebuah kalkulasi yang presisi. Dia tidak menggunakan kekuatan penuhnya, tidak ingin menghancurkan apa pun di Nexus Nocturnus. Tujuannya bukan untuk membunuh mereka, melainkan untuk melarikan diri. Untuk mematahkan rantai yang mengikatnya.

Kael memanifestasikan belati-belati bayangan lainnya, melemparkannya dengan kecepatan kilat. Belati-belati itu tidak bertujuan membunuh, melainkan untuk menciptakan gangguan, mengikat Penjaga Mantra Bayangan lainnya yang kini ikut menyerang. Mereka bergerak dalam formasi yang sempurna, mencoba menjebaknya dalam cengkeraman bayangan yang tak terlihat.

Dia melancarkan teknik yang hanya dia kuasai, sebuah mantra 'Pergeseran Bayangan' yang lebih ekstrem. Bukan hanya teleportasi, tapi kemampuan untuk memecah tubuhnya menjadi beberapa siluet yang bergerak mandiri untuk sesaat, membingungkan musuh. Dia tahu dia harus bertaruh besar. Ini adalah pelarian, bukan pertempuran untuk dominasi.

"Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Anak Ramalan!" Morwen berteriak, sebuah pusaran bayangan pekat muncul di tangannya, siap untuk melahap.

Kael tidak menjawab. Dia mengumpulkan semua energi yang bisa dia kumpulkan, memusatkannya pada satu titik, sebuah retakan yang dia rasakan di kain realitas. Ini adalah teknik terlarang, kemampuan untuk merobek celah antar dimensi yang hanya dikuasai segelintir master sejati, dan itu bisa berakibat fatal jika dilakukan dengan tidak sempurna. Tetapi dia harus mengambil risiko.

Sebuah suara gemuruh rendah bergetar di seluruh Nexus Nocturnus. Retakan mulai muncul di udara, bukan retakan fisik, melainkan retakan dimensi, seperti kaca yang pecah menjadi serpihan-serpihan ketiadaan. Energi dari Klan Malam, yang berusaha mengikatnya, justru memperkuat usahanya untuk membelah realitas.

Morwen menyadari apa yang Kael coba lakukan. Matanya membesar, sebuah ekspresi yang jarang terlihat pada wajahnya yang biasanya tanpa emosi. "Hentikan dia! Dia mencoba membuka celah!" perintahnya.

Para Penjaga Mantra Bayangan yang lain melesat maju, namun Kael sudah terlalu jauh. Dengan satu dorongan energi terakhir, ia melontarkan dirinya ke dalam celah yang melebar, membiarkan tubuhnya hancur menjadi partikel-partikel bayangan.

"Kau akan menyesali ini, Kael!" raung Morwen, suaranya bergema di Dimensi Bayangan. "Ramalan tidak bisa dibohongi! Takdirmu akan menemukanmu, di mana pun kau bersembunyi!"

Kael tidak mendengar lagi. Dia merasakan sensasi jatuh, sebuah kekosongan yang mengerikan saat realitas di sekitarnya terurai. Itu adalah pengalaman yang membuat perutnya bergejolak, bahkan bagi seorang Pembunuh Mantra Bayangan seperti dirinya. Tubuhnya terasa seperti direnggut, diregangkan ke berbagai arah, sebelum akhirnya, dengan hentakan keras, ia merasakan tanah padat di bawah kakinya lagi.

Udara... terasa berbeda. Dingin dan segar, dengan aroma aneh yang tidak ia kenali—bukan bau kelabu dimensi asalnya. Ada warna. Jauh di atas, ia bisa melihat gumpalan putih bergerak di hamparan biru, sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pepohonan, hijau dan tinggi, menjulang di sekelilingnya, menciptakan kanopi yang menyaring cahaya.

Dia berada di sebuah hutan, di pinggir sebuah jurang yang curam. Di bawahnya, sebuah lembah membentang luas, dihiasi dengan apa yang tampak seperti struktur buatan manusia. Di kejauhan, menjulang sebuah formasi kristal raksasa yang memancarkan cahaya redup, seolah itu adalah bagian dari lanskap itu sendiri. Itu pasti Benteng Kristal yang diceritakan dalam laporan-laporan dimensi Klan Malam. Sebuah target, dulunya. Kini, sebuah kemungkinan tujuan.

Ia merasakan kelemahan yang aneh. Melarikan diri dari dimensi asal, membuka celah itu, telah menghabiskan sebagian besar energinya. Kekuatannya masih ada, namun rasanya seperti sebuah wadah yang kini hanya setengah penuh. Ini adalah harga dari kebebasan yang ia dambakan.

Kael mencoba memanggil belati bayangannya, dan ia muncul, namun terasa lebih berat, lebih lambat. Dia tahu dia harus bersembunyi, memulihkan diri, dan memahami dunia baru ini. Dunia yang penuh warna, yang penuh suara, yang anehnya, terasa lebih "hidup" daripada keberadaan statis di Dimensi Bayangan.

Sesuai dugaan Morwen, pelariannya tidak akan semudah itu. Dari celah dimensi yang kini mulai menutup di belakangnya, sebuah bayangan familiar muncul. Bukan anggota Klan Malam yang mengejarnya, tapi seekor Watcher Abyssal, makhluk buas dari Dimensi Abyss yang sering digunakan oleh Klan Malam sebagai pemburu. Itu adalah pertanda bahwa Morwen tidak membiarkannya pergi begitu saja, bahkan setelah ia berhasil kabur. Mereka akan melacaknya.

Kael tidak gentar. Ini adalah awal baru. Ini adalah tantangan yang harus ia hadapi sendirian. Tanpa ramalan. Tanpa belenggu. Hanya dia, di dunia asing, dengan kekuatannya yang terkuras, dan para pemburu di belakangnya.

"Perbatasan Dunia," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba nama itu di lidahnya. Terdengar... menarik.

Dia menghilang ke dalam bayangan pepohonan, bergerak tanpa suara, seperti hantu. Tujuan pertamanya adalah untuk melarikan diri dari Watcher Abyssal itu, kemudian mencari tempat untuk bersembunyi. Dia harus memahami dunia baru ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kael merasakan sesuatu yang mendekati kebebasan, meskipun itu datang dengan harga yang mahal. Dia tidak tahu apa yang menantinya, tetapi satu hal yang jelas: dia tidak akan pernah kembali ke Dimensi Bayangan, tidak akan pernah lagi menjadi alat dalam permainan takdir orang lain. Percikan cahaya asing itu kini bebas untuk bersinar, bahkan di antara kegelapan yang ia bawa.

Judul Novel: Mantra Bayangan dan Peluru Harapan

Untuk Membaca Selengkapnya dapat kamu baca DISINI

Mengulas berbagai produk untuk menginformasikan kepada pembaca setia kami