BAB 2 - Pilar Terakhir Kristal

 


BAB 2 - Pilar Terakhir Kristal - Udara di Benteng Kristal selalu dipenuhi dengan campuran aroma yang unik: uap logam panas dari bengkel-bengkel, bau ozon dari generator kristal, dan aroma samar bubuk mesiu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari lapangan tembak. Bagi Seraphina, itu adalah aroma rumah, benteng terakhir umat manusia yang berdiri teguh di tengah gejolak invasi antar-dimensi. Di sinilah ia tumbuh besar, di bawah bayang-bayang Jenderal Kaleb, ayah angkatnya, dan dalam bayangan tanggung jawab yang berat setelah kepergian ayahnya sendiri.

Ia berdiri di puncak Menara Penjaga, senapan kristal kebanggaannya bertumpu mantap di bahu. Senapan itu, karya agung teknologi dan sihir kristal, bukan hanya sekadar senjata; itu adalah ekstensi dari dirinya, sebuah janji yang ia genggam erat. Ayahnya, seorang pemimpin terkemuka dari Penjaga Benteng Kristal, telah gugur dalam Pertempuran Perbatasan yang terkenal, melindungi garis depan dari serbuan pertama makhluk-makhluk Abyss. Setelah itu, Jenderal Kaleb, sahabat karib ayahnya, mengadopsi Seraphina. Bukan hanya karena kasih sayang, tetapi dengan satu tujuan mulia: agar Seraphina bisa melindungi Elara, adik tirinya.

Elara bukanlah seorang prajurit. Ia adalah seorang jenius eksentrik, seorang penemu yang pikirannya bergerak dengan kecepatan cahaya, menciptakan terobosan-terobosan yang tak terpikirkan oleh orang lain. Penemuannya, terutama yang terkait dengan energi kristal, adalah kunci pertahanan Benteng Kristal. Tanpa Elara, dan tanpa inovasinya, Benteng Kristal hanyalah tumpukan batu dan kristal mati. Oleh karena itu, melindungi Elara bukanlah sekadar tugas keluarga, melainkan kewajiban militer yang sakral.

Seraphina menghela napas, uap putih tipis keluar dari bibirnya yang kencang di udara pegunungan yang dingin. Dari posisi ini, ia bisa melihat seluruh Benteng Kristal yang membentang di bawahnya, sebuah mosaik bangunan kokoh yang terhubung oleh jembatan-jembatan energi, semuanya memancar dari Inti Kristal raksasa di pusat kota. Inti itu berdenyut perlahan, memancarkan cahaya biru terang yang menjadi sumber tenaga bagi seluruh benteng—perisai energi, senjata, bahkan sistem kehidupan. Di luar dinding kokoh, terhampar jurang tak berdasar dan pegunungan terjal yang berfungsi sebagai pertahanan alami. Namun, pertahanan alami pun tidak lagi cukup menghadapi ancaman dari Dimensi Abyss.

"Lapor, Seraphina," suara berdesir dari comm-link di telinganya. Itu adalah Sersan Ghor, seorang veteran paruh baya dengan suara serak. "Sektor barat daya, ada laporan aktivitas abnormal. Sensor suhu mendeteksi anomali."

Seraphina mengencangkan genggamannya pada senapan. "Diterima, Sersan. Siapkan tim pengintai. Saya akan mendahului."

"Anda yakin, Nona Seraphina? Ini bisa jadi jebakan," Ghor memperingatkan.

"Itulah mengapa saya harus memeriksanya sendiri. Kecepatan saya bisa memberi kita keuntungan." Seraphina adalah seorang Penembak Jitu Kristal, tetapi ia juga dilatih dalam manuver assassin. Ia bisa bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, meluncur di antara celah-celah bebatuan dan menggunakan gravitasi untuk keuntungannya. Gaya bertarungnya adalah gabungan antara presisi seorang marksman dan kelincahan seorang pembunuh.

Ia melompat dari menara, bukan jatuh, melainkan meluncur. Sebuah tali pengaman energi yang tak terlihat, ditenagai oleh sarung tangan kristalnya, menahannya, memperlambat kecepatan jatuh dan mengarahkannya dengan presisi. Ia mendarat mulus di jembatan penghubung yang bergelombang, lalu melesat pergi, siluetnya berbaur dengan bayangan Benteng Kristal yang menjulang.

Targetnya adalah perbatasan barat daya, sebuah area yang jarang dilewati karena topografinya yang berbahaya. Namun, akhir-akhir ini, laporan mengenai aktivitas makhluk Abyss di sana semakin meningkat. Ini bukan lagi sekadar patroli rutin; ini adalah pengintaian berbahaya di wilayah musuh yang potensial.

Saat ia mendekati area yang dilaporkan, aroma aneh mulai tercium di udara—bukan bau metal atau mesiu, melainkan bau belerang dan sesuatu yang membusuk, bau khas dari jurang Dimensi Abyss. Seraphina mengaktifkan scope optiknya. Dunia di sekelilingnya memudar, digantikan oleh citra termal yang jelas.

Ia melihatnya. Bukan satu, melainkan beberapa siluet besar, bergerak perlahan di antara pepohonan yang mati dan formasi batu hitam yang runcing. Mereka adalah Penjaga Jurang, makhluk Abyss raksasa dengan kulit seperti batu dan cakar tajam. Mereka bukan prajurit yang paling cerdas, tetapi mereka mematikan dalam jumlah banyak. Dan mereka sedang menuju ke Benteng Kristal.

Seraphina bersembunyi di balik bongkahan batu besar, senapannya terangkat. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut, melainkan adrenalin. Ia menghitung jumlah musuh: lima. Terlalu banyak untuk dia hadapi sendirian tanpa membuang-buang amunisi berharga. Tim pengintai Sersan Ghor masih dalam perjalanan.

"Sersan Ghor, batalkan tim pengintai," bisiknya ke comm-link. "Saya melihat setidaknya lima Penjaga Jurang. Mereka bergerak cepat. Saya akan menahan mereka di sini, coba perlambat pergerakan mereka. Anda perlu mengalihkan perhatian pasukan ke sini secepat mungkin."

"Anda gila, Nona Seraphina!" Ghor terdengar panik. "Lima? Itu bunuh diri!"

"Percayakan pada saya, Sersan," Seraphina mematikan comm-link tanpa menunggu jawaban. Ia tahu ia sedang mengambil risiko besar, tetapi jika Penjaga Jurang ini mencapai dinding benteng tanpa perlawanan, akan ada banyak korban.

Ia mengambil napas dalam-dalam, menstabilkan senapannya. Fokusnya tajam. Ia mengunci target pada salah satu Penjaga Jurang, membidik titik lemah di lehernya. Senapan kristal itu berdengung rendah saat ia mengisi daya. Bang! Seberkas cahaya biru terang melesat menembus udara, mengenai sasaran dengan presisi mematikan. Makhluk itu tersentak, raungannya mengoyak keheningan hutan. Ia roboh, asap tipis mengepul dari lukanya.

Tiga lagi.

Yang lain, menyadari ancaman, mulai bergerak maju dengan raungan marah. Mereka sangat besar, setiap langkah mereka menggetarkan tanah. Seraphina melesat dari posisinya, menghilang ke balik rimbunnya pepohonan, lalu muncul kembali beberapa meter jauhnya. Ia bukan hanya seorang penembak jitu statis; ia adalah marksman yang bergerak, terus-menerus mengubah posisinya untuk menghindari serangan balik.

Ia menembak lagi, mengenai kaki salah satu Penjaga Jurang. Makhluk itu tersandung, memberinya waktu. Namun, dua lainnya mulai memisah, mencoba mengepungnya. Ini menjadi lebih sulit.

Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kilatan ungu gelap melintas di antara bayangan. Sebuah suara whoosh yang aneh, seolah ada sesuatu yang bergerak dengan kecepatan luar biasa. Seraphina tidak sempat mengalihkan pandangan dari musuhnya. Yang bisa ia rasakan hanyalah angin kencang di sampingnya, dan kemudian, salah satu Penjaga Jurang di depannya tersentak, terhuyung, dan kemudian roboh dengan suara gedebuk. Di lehernya, sebuah belati gelap menancap dalam. Bukan belati Benteng Kristal.

Seraphina terkejut. Itu adalah belati aneh, terbuat dari material yang seperti menyerap cahaya. Siapa—?

Sebelum ia sempat menyelesaikan pikirannya, sesosok bayangan melintas di hadapannya. Hanya kilasan samar, sebuah siluet ramping yang bergerak dengan kecepatan yang mustahil. Satu lagi Penjaga Jurang ambruk, sebuah belati lain menancap di dadanya.

Hanya satu yang tersisa. Makhluk itu, merasa terancam, melancarkan raungan frustrasi dan mengayunkan cakar besarnya ke arah lokasi terakhir bayangan itu terlihat. Namun, bayangan itu sudah tidak ada. Seraphina melihat sekilas sesuatu yang bergerak sangat cepat, kemudian whoosh lagi. Makhluk terakhir itu kini terhuyung-huyung, belati menancap di kepalanya, sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

Hutan kembali hening, kecuali suara napas Seraphina yang memburu. Ia memindai area itu, senapan teracung. Tidak ada apa-apa. Hanya bangkai Penjaga Jurang yang tergeletak. Siapa yang membantunya? Siapa yang mampu bergerak secepat itu dan menggunakan senjata aneh seperti itu? Ia tidak merasakan aura musuh, tidak ada ancaman. Tapi juga tidak ada aura yang dikenal.

Dari balik pepohonan yang rimbun, sebuah siluet samar melangkah maju. Itu adalah seorang pria, tinggi dan ramping, dengan pakaian gelap yang membuatnya nyaris tak terlihat di bawah bayangan. Wajahnya terpahat tajam, rambutnya sehitam malam. Matanya... mata abu-abu itu memancarkan sesuatu yang dingin, namun juga penasaran saat bertemu pandang dengan Seraphina.

Itu adalah Kael.

Ia melangkah maju, tangannya perlahan mengangkat ke arah salah satu belati yang menancap di Penjaga Jurang. Belati itu, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat, melesat kembali ke telapak tangannya, menghilang seolah tidak pernah ada.

"Kau... siapa kau?" Seraphina bertanya, suaranya tegang, senapan masih terarah padanya. Ia tidak menurunkan kewaspadaan. Orang ini bergerak terlalu cepat, menggunakan metode yang terlalu asing.

Kael tidak menjawab. Dia hanya menatap Seraphina, matanya menyelidik. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Seraphina sedikit tidak nyaman, seolah pria itu sedang menganalisis setiap gerakannya, setiap detailnya.

"Kau bisa saja membiarkan mereka membunuhku," Seraphina mencoba lagi, nada suaranya sedikit menantang.

"Bukan urusanku," jawab Kael, suaranya dalam dan serak, dengan aksen yang tidak dikenal. "Mereka adalah pemburu. Aku tidak suka pemburu."

Seraphina mengerutkan kening. "Pemburu? Mereka makhluk Abyss."

"Bukan itu yang kumaksud," Kael mengoreksi, matanya bergeser ke arah celah dimensi yang kini telah menutup sepenuhnya di kejauhan. "Ada yang lain."

Tiba-tiba, suara langkah kaki dan derapan baju zirah terdengar dari arah Benteng Kristal. Sersan Ghor dan timnya telah tiba, dengan formasi siap tempur.

"Nona Seraphina! Anda baik-baik saja?" Ghor berteriak, panik. Pandangannya jatuh pada bangkai Penjaga Jurang, lalu pada sosok gelap Kael. Wajahnya menegang. "Siapa itu?"

Kael tidak bereaksi. Dia hanya berdiri di sana, seperti patung, mengamati para prajurit Benteng Kristal yang mengepungnya dengan senjata terangkat.

"Dia... dia membantuku," Seraphina menjelaskan, sedikit ragu. "Dia menyingkirkan tiga Penjaga Jurang itu sendiri."

Ghor terlihat sangat skeptis. "Bagaimana caranya? Dia bahkan tidak terlihat memiliki senjata."

Seraphina melirik Kael. "Dia punya. Mereka... menghilang."

Ghor ragu, tetapi melihat ekspresi serius Seraphina, ia menurunkan senjatanya sedikit. Namun, kewaspadaan tetap ada. "Siapa namamu, orang asing?"

"Kael," jawab Kael singkat, matanya kembali menatap Seraphina. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Seraphina merasa... diakui. Bukan sebagai prajurit atau pelindung, tetapi sebagai dirinya sendiri.

Ghor memberi isyarat kepada beberapa prajurit untuk maju dan memeriksa bangkai Penjaga Jurang. Mereka menemukan belati-belati gelap itu telah lenyap, meninggalkan lubang-lubang aneh yang berasap tipis.

"Kami harus membawanya ke Jenderal Kaleb," putus Ghor. "Dia perlu diinterogasi. Siapa pun dia, dia memiliki kekuatan yang tidak biasa."

Seraphina mengangguk. "Itu adil." Ia menatap Kael. "Kau tidak akan melawan, kan?"

Kael menghela napas, sebuah tindakan yang jarang ia lakukan. "Aku tidak punya energi untuk melawan pasukanmu. Lagipula, aku tidak punya tempat lain untuk pergi sekarang." Nada suaranya datar, tanpa emosi, namun ada kejujuran di dalamnya.

Mereka membawa Kael ke Benteng Kristal. Sepanjang perjalanan, Seraphina terus mengawasinya. Pria ini adalah sebuah anomali. Kekuatannya, cara dia bergerak, bahkan auranya yang dingin namun tidak mengancam, semuanya terasa asing. Namun, dia telah menyelamatkan nyawanya. Sebuah ikatan tak terduga telah tercipta di antara mereka, sekecil apa pun itu.

Saat mereka memasuki gerbang Benteng Kristal, cahaya biru dari Inti Kristal menyambut mereka. Kael sedikit tersentak, matanya sedikit menyipit seolah cahaya itu terlalu terang baginya. Seraphina mengamati reaksinya. Dunia ini pasti sangat berbeda dari tempat asalnya.

Ia tahu bahwa kedatangan Kael akan menimbulkan gelombang di Benteng Kristal. Makhluk misterius dengan kekuatan bayangan, yang entah bagaimana berhasil melewati pertahanan mereka, dan yang anehnya, telah membantu mereka. Ini adalah permulaan dari sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak pernah ia antisipasi di tengah rutinitas pertempuran dan perlindungan yang telah menjadi hidupnya. Beban di pundaknya terasa sedikit lebih berat, namun juga, anehnya, sedikit lebih menarik.


Judul Novel: Mantra Bayangan dan Peluru Harapan

Untuk Membaca Selengkapnya dapat kamu baca DISINI

Mengulas berbagai produk untuk menginformasikan kepada pembaca setia kami