Bisikan Jantung di Bawah Gerhana Darah - Malam itu, Jakarta menelan cahaya rembulan. Bukan karena awan tebal, melainkan fenomena yang jauh lebih aneh: gerhana bulan merah darah. Sebuah pertunjukan langit yang langka, seharusnya hanya menjadi santapan para astronom dan fotografer amatir. Namun, bagi Anya Paramitha, seorang arsitek berusia dua puluh enam tahun dengan mata sepekat kopi hitam dan intuisi yang setajam pisau bedah, gerhana itu adalah sesuatu yang lain. Jantungnya berdenyut tak beraturan di balik tulang rusuk, bukan karena sensasi dingin udara malam yang menyusup ke pori-pori kulitnya, melainkan karena merasakan tarikan aneh, tak kasat mata, menuju sebuah gang gelap yang sempit di balik gedung kantornya yang menjulang, Arkitron Jaya.
Ia baru saja menyelesaikan revisi terakhir desain pusat perbelanjaan di Kebayoran Baru, otaknya masih berasap oleh perhitungan struktur dan estetika. Rio, tunangannya, sudah mengirimkan pesan berulang kali, mengajaknya makan malam romantis di sebuah restoran rooftop yang baru dibuka. "Sayang, ke mana? Aku sudah di sini," begitu pesannya yang terakhir, diiringi emoji wajah cemberut. Anya mengetik balasan singkat, "Sebentar, ada yang ketinggalan," padahal ia tahu, tidak ada apa pun yang ketinggalan di mejanya.
Tarikan itu terlalu kuat, seperti bisikan takdir yang memaksanya melangkah. Sebuah desakan aneh yang melampaui logika, menggelitik setiap sel sarafnya, seolah sebuah memori kuno yang terkubur dalam-dalam mulai menggeliat. Ia mengambil tas selempangnya, memadamkan lampu meja, dan melangkah keluar dari kantornya yang sunyi. Lift terasa terlalu lambat. Kakinya langsung membawanya menuju pintu darurat, menuruni tangga dua lantai ke arah ground floor. Petugas keamanan di lobi menyapanya, tapi Anya hanya bisa tersenyum tipis, pikirannya sepenuhnya tersedot oleh daya tarik misterius itu.
Gang gelap itu, yang sehari-hari hanya menjadi jalur pintas bagi tukang sampah dan pengantar barang, kini terasa seperti ambang batas ke dimensi lain. Lampu jalan yang remang-remang di ujung gang berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari-menari yang mengaburkan pandangan. Aroma sampah bercampur dengan bau hujan yang baru reda, namun Anya tidak memperdulikannya. Tatapannya terpaku pada satu sosok di sana.
Seorang pria. Tinggi semampai, rambut raven seikat ekor kuda rendah yang membuatnya terlihat seperti karakter dari zaman lain. Ia mengenakan setelan gelap yang tampak kuno namun mahal, pas di tubuh kekarnya, memancarkan aura misteri sekaligus kemewahan. Pria itu berdiri membelakangi Anya, menatap gerhana dengan intensitas yang mengerikan, seolah seluruh alam semesta berputar di sekelilingnya, dan dialah porosnya. Gerhana itu sendiri terlihat seolah memudar atau semakin pekat sesuai dengan tarikan napasnya.
Anya merasakan sebuah dejavu yang kuat, namun tidak bisa mengingat kapan atau di mana ia pernah melihat pria ini. Jantungnya berdentum-dentum, kali ini bukan karena tarikan misterius, melainkan karena kegugupan yang menusuk. Ia seharusnya merasa takut, berbalik dan lari, kembali ke kehidupan normalnya. Namun, ia tidak bisa. Kakinya terpaku, seolah akar tak kasat mata telah mencengkeramnya ke tanah.
Perlahan, pria itu berbalik. Wajahnya... dipahat sempurna, seperti patung dari marmer terbaik. Rahang tegas, hidung mancung, bibir penuh yang sedikit melengkung ke atas, memberikan kesan senyum tipis yang sulit diartikan. Namun, yang paling mencolok dan menggetarkan Anya adalah matanya—mata emas yang memancarkan cahaya redup, seolah menampung galaksi di dalamnya, memendam misteri ribuan tahun.
Mereka bertemu pandang. Dan seketika, dunia Anya runtuh dan terbentuk kembali. Kilasan gambar-gambar aneh menyerbu benaknya, berkelebatan secepat kilat: hutan purba yang diselimuti kabut tebal, di mana pepohonan menjulang tinggi menembus langit; pedang berlumuran darah yang memancarkan cahaya biru terang; suara desingan anak panah yang melesat membelah udara; dan bisikan nama yang tak dikenalnya, "Elara," yang terasa begitu akrab namun asing di saat bersamaan. Sebuah nyeri tajam berdenyut di pelipisnya, seolah ada dinding di otaknya yang dipaksa terbuka.
Pria itu mendekat, langkahnya tanpa suara, seolah ia melayang di atas tanah. Aura dingin yang menenangkan menguar darinya. "Kau merasakannya, bukan?" suaranya dalam, seperti gema dari masa lalu yang terkubur ribuan tahun, namun anehnya, suara itu juga menenangkan. "Kita bertemu lagi, setelah ribuan tahun."
Anya mundur selangkah, napasnya tercekat di tenggorokan. "Apa... apa maksudmu?" Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar. Ini pasti mimpi. Ia pasti terlalu lelah dan berhalusinasi.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang entah mengapa terasa begitu akrab, seolah ia telah melihatnya di mimpi paling dalam, namun juga menakutkan, karena ia tahu senyum itu membawa beban sejarah yang tak terbayangkan. Gerhana mencapai puncaknya, dan seketika, udara di sekitar mereka bergetar, mengembun, dan memadat, seolah alam semesta menahan napas. Tiba-tiba, sebuah simbol aneh berwarna biru kehijauan berpendar di pergelangan tangan kiri Anya, tepat di bawah nadinya yang berdenyut kencang. Simbol itu bercahaya redup, membentuk pola spiral dengan tiga garis melengkung yang saling terkait, mirip ukiran kuno yang belum pernah ia lihat di buku mana pun.
"Simbol Takdir," bisik pria itu, tatapannya terpaku pada lambang di pergelangan tangan Anya, ekspresinya memancarkan campuran kekaguman dan kesedihan yang mendalam. "Ini bukan kebetulan, Elara. Ini adalah segel yang telah terpecahkan."
Pria itu mengulurkan tangannya yang ramping namun kuat, dan dari telapak tangannya, sebuah cahaya keemasan terang membias, melesat ke arah Anya, menyelimutinya sepenuhnya. Cahaya itu tidak menyilaukan, justru terasa hangat dan menenangkan, menembus kulit dan meresap ke dalam tulangnya. Dunia di sekelilingnya memudar, suara klakson mobil yang sayup-sayup, gemerisik daun, bahkan detak jantungnya sendiri. Semua seolah larut dalam lautan cahaya. Kalimat terakhir yang ia dengar, sebelum kesadarannya tenggelam dalam lautan keemasan itu, adalah suara dalam pria itu, penuh dengan kepastian yang menakutkan: "Waktunya telah tiba untuk mengingat."
Judul Novel: Simfoni Bayangan dan Takdir
Anda dapat membaca keseluruhan ceritanya DISINI