Kota yang Berubah dan Bayangan yang Mengintai - Anya terbangun. Bukan di gang gelap itu, bukan pula dalam lautan cahaya keemasan. Ia berada di kamarnya sendiri, di apartemen minimalisnya yang selalu rapi, disinari mentari pagi yang hangat menembus jendela. Tirai tipis bergoyang lembut ditiup angin sepoi-sepoi, dan aroma kopi dari dapur tetangga samar-samar tercium. Semuanya terasa begitu normal, begitu familier, sehingga ia hampir bisa meyakinkan dirinya bahwa peristiwa semalam hanyalah mimpi. Gerhana itu... hanya bunga tidur yang disebabkan oleh stres pekerjaan.
Ia meraba pergelangan tangan kirinya. Kosong. Simbol aneh berwarna biru kehijauan itu lenyap tak berbekas, seolah tidak pernah ada. Anya menghela napas lega, namun pada saat yang sama, sebuah desiran kekecewaan kecil menyelinap di benaknya. Mengapa ia merasa kecewa? Ini aneh. Ia bangkit dari tempat tidur, kakinya menginjak karpet lembut. Langkahnya terasa ringan, anehnya ringan, seolah ada beban yang terangkat dari dirinya.
Saat ia melangkah ke kamar mandi, pandangannya terpaku pada cermin. Wajahnya sama, rambutnya sama, tapi ada yang berbeda. Matanya. Mata hitam pekatnya tampak lebih tajam, lebih hidup, seolah ada percikan api kecil yang menari di dalamnya. Dan saat ia berkedip cepat, ia melihatnya lagi: sebuah kilatan cahaya biru samar terlihat di sudut matanya. Sekilas, seperti pantulan cahaya, tapi ia tahu itu bukan. Itu nyata. Sebuah pengingat yang mengerikan dari kejadian semalam. Mimpi itu... terlalu nyata untuk menjadi sekadar bunga tidur.
Ia mencoba mengabaikannya, memilih fokus pada rutinitas paginya. Mandi, berpakaian, membuat oatmeal dengan buah beri. Namun, saat ia melangkah keluar dari gedung apartemennya menuju halte bus, kota Jakarta terasa aneh. Warna-warnanya, yang biasanya terasa padat dan sibuk, kini tampak lebih pekat, lebih hidup, seolah ia baru saja memakai kacamata baru yang memperlihatkan spektrum warna yang lebih luas. Udara pagi yang seharusnya hanya membawa aroma knalpot dan kopi, kini dipenuhi energi yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah getaran halus di udara, seperti melodi tak terdengar yang hanya bisa ia rasakan.
Orang-orang di jalanan tampak sama—para pekerja kantoran dengan wajah mengantuk, ibu-ibu muda yang mendorong stroller, para pedagang kaki lima yang sibuk menata dagangan. Mereka semua bergerak dalam rutinitas harian mereka, tidak menyadari apa pun yang berbeda. Namun, Anya merasa seolah ada lapisan tersembunyi di balik kenyataan yang ia kenal, sebuah dimensi lain yang baru saja terbuka untuknya. Ia melihat sekilas bayangan yang melesat cepat di antara kerumunan, terlalu cepat untuk ditangkap mata telanjang. Apakah ia hanya berhalusinasi? Atau apakah itu adalah bagian dari "mereka" yang disebutkan pria bermata emas itu?
Di kantor, suasana hati Anya gelisah. Konsentrasinya buyar. Barisan angka dan sketsa desain bangunan di monitornya tampak kabur. Ia mencoba memfokuskan pikirannya, memaksa dirinya kembali ke kenyataan. Namun, setiap kali ia memejamkan mata, wajah pria bermata emas itu muncul, lengkap dengan senyum tipis dan bisikan "Elara." Nama itu terus terngiang di benaknya, sebuah melodi asing yang terus-menerus diputar.
Saat jam makan siang, Anya memutuskan ia tidak bisa mengabaikan ini lagi. Ia harus mencari informasi. Ia menyelinap ke ruang istirahat, membuka laptop kantor dan mulai mengetik di mesin pencarian. Gerhana bulan merah darah, fenomena langka, legenda kuno. Tidak butuh waktu lama hingga ia menemukan artikel lama yang mengulas legenda kuno di Asia Tenggara mengenai "Bulan Darah". Artikel itu menyebutkan bahwa di beberapa budaya, Bulan Darah diyakini sebagai penanda terbukanya gerbang antara dunia manusia dan dunia makhluk tak kasat mata, entitas spiritual, atau bahkan entitas gelap yang haus kekuasaan. Jantungnya berdesir, bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena sebuah firasat dingin yang menusuk.
Tiba-tiba, ponselnya berdering di saku celananya, membuat Anya terlonjak kaget. Itu Rio. Ia sudah benar-benar melupakan tunangannya.
"Sayang, kamu ke mana semalam? Aku khawatir setengah mati," suara Rio di seberang sana terdengar tegang. "Aku ke apartemenmu, tapi kamu sudah tidur. Kamu nggak angkat teleponku sama sekali."
Anya tergagap mencari alasan. "Maaf, Rio. Aku... aku ketiduran. Ada sedikit... mimpi buruk yang sangat intens, sampai aku nggak sadar apa-apa." Ia berusaha terdengar normal, senormal mungkin, seolah kejadian semalam adalah hal sepele. Ia tidak mungkin menceritakan tentang pria bermata emas, simbol takdir, dan bisikan masa lalu pada Rio. Itu terlalu absurd.
Rio terdengar sedikit lega. "Oke deh. Kamu baik-baik aja kan? Mau makan malam lagi nanti? Aku janji nggak akan ngambek."
Anya ragu sejenak. Interaksi normal. Mungkin itu yang ia butuhkan. Ia setuju, berharap interaksi biasa dengan Rio bisa mengusir kegelisahannya, mengembalikan ia ke dunia yang ia kenal.
Namun, saat berjalan pulang sore itu, kegelisahannya kembali. Ia merasakan diawasi. Bukan pengawasan manusia. Lebih seperti pandangan dingin yang menembus kulitnya. Bayangan panjang yang jatuh dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya seolah bergerak sendiri, meregang dan menyusut dengan gerakan yang terlalu lincah untuk sekadar pantulan cahaya. Anya mempercepat langkahnya, jantungnya kembali berdebar. Ia tahu, di suatu tempat di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, di balik keramaian kota, ada sesuatu yang mengintai.
Ketika ia hampir tiba di depan gedung apartemennya, ia melewati gang gelap yang sama tempat ia bertemu pria misterius itu semalam. Mata Anya otomatis melirik ke sana. Dan ia melihatnya. Sebuah bayangan hitam pekat, lebih gelap dari kegelapan gang itu sendiri, melesat cepat melintasi gang, menghilang di balik tumpukan sampah. Itu bukan kucing. Itu bukan anjing. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Anya membeku di tempatnya, seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak salah lihat.
Dari dalam kegelapan gang, dari tempat bayangan itu menghilang, terdengar sebuah bisikan. Bukan bisikan biasa. Bisikan itu tidak berasal dari telinganya, melainkan langsung di benaknya, di pusat kesadarannya, dingin dan kejam. "Dia sudah bangkit. Jangan biarkan dia mengingat. Hentikan dia, sebelum semuanya terlambat."
Bisikan itu mengguncang jiwanya, membuat lututnya lemas. Ketakutan nyata, yang lebih dalam dari rasa takut yang pernah ia alami sebelumnya, mencengkeramnya. Ini bukan mimpi. Ini bukan halusinasi. Ia telah masuk ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar, lebih berbahaya, dan tak terbayangkan. Dan ia baru saja menjadi target.
Judul Novel: Simfoni Bayangan dan Takdir
Anda dapat membaca keseluruhan ceritanya DISINI