Jejak Kuno dan Percobaan Kekuatan



Jejak Kuno dan Percobaan Kekuatan - Ketakutan menyelimuti Anya, merayapi setiap inci kulitnya seperti embun beku. Bisikan itu, yang terngiang langsung di benaknya, terlalu nyata untuk diabaikan. Malam itu, tidur adalah kemewahan yang tak terjangkau. Matanya terus-menerus melihat kilatan cahaya biru samar, terutama saat pikirannya berpacu, mencoba mencerna rentetan kejadian aneh yang menimpanya. Ia berguling gelisah di ranjang, selimutnya kusut di kakinya. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus mencari tahu.

Tepat ketika kegelisahan Anya mencapai puncaknya, ketika ia merasa ingin berteriak frustrasi, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Tanpa sengaja, ia melambaikan tangannya dalam kekesalan. Seketika, gelas minum di meja samping tempat tidurnya, yang berisi sisa air semalam, terangkat perlahan ke udara, melayang sebentar, lalu jatuh ke lantai dengan bunyi pecah. Air tumpah membasahi karpet, dan pecahan kaca berserakan. Anya terkesiap, jantungnya berpacu lebih kencang dari sebelumnya. Itu bukan imajinasi. Itu bukan kelelahan. Itu adalah kekuatan. Kekuatan yang entah bagaimana, entah mengapa, kini ada dalam dirinya.

Paginya, dengan sisa-sisa kopi dingin dan kantung mata yang tebal, Anya mengambil keputusan. Ia harus kembali ke gang gelap itu. Tempat segalanya dimulai. Tempat ia bertemu pria bermata emas itu. Ia adalah satu-satunya petunjuk yang ia miliki. Hanya dia yang bisa memberinya jawaban atas kegilaan yang menimpanya.

Gang itu tampak normal di bawah cahaya matahari pagi Jakarta yang terik. Aroma sampah masih ada, tapi kini bercampur dengan bau asap knalpot dan hiruk pikuk kota. Anya melangkah hati-hati, pandangannya menyapu setiap sudut. Ia mencoba merasakan energi aneh yang ia rasakan semalam. Dan ya, ada sisa-sisa getaran itu, samar namun nyata, seperti jejak aroma parfum yang tertinggal di udara.

Kemudian, ia melihatnya. Di dinding bata yang tertutup lumut dan coretan grafiti, tepat di tempat ia berdiri semalam ketika simbol itu muncul di pergelangan tangannya, ada sebuah ukiran samar. Ukiran itu hampir tak terlihat, seolah sengaja dibuat samar untuk menyembunyikan keberadaannya, namun bentuknya begitu mirip dengan simbol yang muncul di pergelangan tangannya: pola spiral dengan tiga garis melengkung yang saling terkait. Dengan hati-hati, ia mengulurkan jari, menyentuh ukiran itu.

Saat sentuhannya, ukiran itu berpendar sesaat, memancarkan cahaya biru kehijauan yang redup sebelum kembali memudar. Namun, itu sudah cukup. Lagi-lagi, kilasan gambar-gambar aneh menyerbu benak Anya, jauh lebih jelas dan koheren dari sebelumnya. Ia melihat seorang wanita bergaun kuno, sangat mirip dengannya, memegang tongkat bercahaya yang memancarkan energi. Wanita itu bertarung melawan makhluk-makhluk bayangan yang sama dengan yang ia rasakan mengawasinya semalam. Ada adegan kehancuran, teriakan, dan rasa putus asa yang mendalam. Sebuah kekuatan yang tak dikenal melonjak dalam dirinya, begitu besar hingga membuat kepalanya pusing dan kakinya lemas. Ia harus bersandar ke dinding, mencoba mengatur napasnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat, terburu-buru namun tetap terkontrol. Anya tersentak. Instingnya, yang kini terasa begitu tajam, berteriak "sembunyi!". Ia melesat cepat, bersembunyi di balik tumpukan kantong sampah besar yang berbau. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya.

Seorang wanita masuk ke gang. Ia berpakaian rapi, setelan kerja yang elegan, rambutnya dicepol tinggi, dan wajahnya datar tanpa ekspresi. Namun, Anya merasakan aura dingin yang menusuk dari wanita itu, seperti pisau es yang menusuk kulit. Wanita itu tidak hanya berjalan, ia bergerak dengan presisi, matanya mengamati setiap sudut, setiap celah. Ia seperti pemburu yang terlatih.

Wanita itu berhenti di depan ukiran di dinding, matanya yang tajam menyipit. Ia mengeluarkan sebuah benda dari tas tangannya—sebuah kompas kuno dari perunggu yang permukaannya dipenuhi ukiran rumit. Jarum kompas itu tidak menunjuk ke utara, melainkan berputar cepat, bergetar hebat di depan ukiran, lalu melambat dan berhenti, menunjuk ke dinding. Wajah wanita itu menunjukkan kekecewaan yang jelas.

"Sial, aku terlambat," gumam wanita itu, suaranya pelan namun terdengar jelas di telinga Anya yang kini terasa sangat peka. "Segelnya sudah pecah. Dia sudah bangkit." Matanya menyapu sekitar, berhenti sejenak di tempat persembunyian Anya. Anya menahan napas, berusaha tidak bergerak sedikit pun, bersembunyi di antara bayangan dan bau tak sedap. Wanita itu mengernyitkan kening, seolah merasakan sesuatu, tapi tidak bisa memastikan. Akhirnya, dengan desahan frustrasi, wanita itu berbalik dan melangkah pergi, menghilang dari pandangan.

Anya menunggu beberapa menit, memastikan wanita itu benar-benar pergi, sebelum keluar dari persembunyiannya. Siapa wanita itu? Dan apa yang ia cari? Semua ini semakin rumit. Ia harus menemukan pria bermata emas itu. Ia adalah satu-satunya yang bisa memberinya jawaban, melindungi dirinya, atau setidaknya memberinya petunjuk.

Bagaimana caranya? Ia tidak tahu nama pria itu, apalagi alamatnya. Ia hanya punya satu petunjuk: kilasan matanya, bisikan Elara, dan peta samar yang terbentuk di benaknya.

Anya menutup mata, mencoba fokus pada sensasi aneh yang ia rasakan sebelumnya. Ia membiarkan pikirannya menjelajahi ingatan yang baru saja muncul. Kilatan cahaya biru di matanya kembali muncul, lebih terang dari sebelumnya, dan kali ini, sebuah peta lokasi yang jauh lebih jelas terbentuk di benaknya. Bukan peta digital dari Google Maps, melainkan peta kuno, seolah digambar dengan tangan, menunjuk ke sebuah area terpencil di pinggir kota Jakarta, yang dipenuhi reruntuhan bangunan kuno. Sebuah tempat yang tampak seperti situs bersejarah yang terlupakan, jauh dari keramaian kota.

Peta itu terasa seperti sebuah panggilan. Sebuah janji yang harus ia penuhi. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Ia harus pergi, bahkan jika itu berarti meninggalkan kehidupannya yang normal, tunangannya, pekerjaannya, di belakang. Ini bukan lagi tentang Anya Paramitha si arsitek. Ini tentang Elara.

Dengan tekad yang membara di matanya, Anya berbalik, meninggalkan gang itu, dan melangkah menuju tempat yang ditunjukkan peta kuno di benaknya. Ia tidak tahu apa yang menantinya, tapi ia tahu ia tidak bisa mundur. Takdir telah memanggil, dan ia harus menjawabnya. Namun, apakah ia akan menemukan jawaban atau justru terjebak lebih dalam ke dalam bahaya yang tak terbayangkan?

Judul Novel: Simfoni Bayangan dan Takdir

Anda dapat membaca keseluruhan ceritanya DISINI

Mengulas berbagai produk untuk menginformasikan kepada pembaca setia kami