Pertemuan Kedua dan Kebangkitan Ingatan

Pertemuan Kedua dan Kebangkitan Ingatan - Peta dalam benak Anya membimbingnya melewati labirin jalanan Jakarta yang semakin sepi, menjauh dari gemerlap pusat kota menuju pinggiran yang lebih tenang. Bangunan-bangunan modern perlahan berganti dengan rumah-rumah tua berarsitektur kolonial yang terlantar, lalu akhirnya, hanya ada pohon-pohon rindang dan semak belukar yang lebat. Akhirnya, di balik kerimbunan vegetasi, Anya melihatnya: sebuah kuil kuno yang ditinggalkan, sebagian besar tertutup rimbunnya tanaman menjalar, pilar-pilar batu yang kokoh namun retak mencuat di antara dedaunan hijau, dan patung-patung dewa-dewi yang ditutupi lumut tebal. Udara di sini terasa berbeda, lebih dingin, lebih pekat dengan energi yang terasa kuno dan sakral, seperti napas masa lalu yang tertahan.

Jantung Anya berdebar tidak karuan, antara antisipasi dan kegugupan. Ia melangkah hati-hati, melewati puing-puing yang berserakan, menginjak daun-daun kering yang bergemerisik di bawah kakinya. Suara-suara kota perlahan memudar, digantikan oleh simfoni alam: desir angin, kicauan burung, dan gemerisik serangga. Seolah ia telah melangkah keluar dari dunia modern dan masuk ke dalam dongeng yang terlupakan.

Di tengah reruntuhan kuil, di sebuah pelataran luas yang masih relatif bersih dari rerumputan liar, ia melihatnya. Pria bermata emas itu. Ia duduk bersila di atas batu altar besar yang usang, mata terpejam, seolah bermeditasi. Cahaya bulan purnama yang baru saja muncul dari balik awan menyinari wajahnya, memancarkan aura ketenangan yang mendalam, namun juga kekuatan yang tak terbantahkan. Aura kekuatannya terasa begitu kuat, memancar dari dirinya seperti gelombang panas yang tak terlihat, membuat bulu kuduk Anya meremang sekaligus menariknya mendekat.

"Kau datang," kata pria itu, matanya tetap terpejam, suaranya tenang dan dalam, memecah kesunyian malam. "Aku tahu kau akan datang, Elara."

Anya membeku di tempatnya. Jadi, itu benar. Nama itu, Elara. Semua ini bukan mimpi. Ia tidak tahu harus merasa takut atau lega. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar tipis. "Apa yang terjadi padaku? Apa itu 'Elara'?"

Pria itu akhirnya membuka matanya, menatap Anya dengan tatapan yang memancarkan ribuan tahun kebijaksanaan, kesedihan yang mendalam, dan sedikit kelegaan. Matanya bersinar keemasan di bawah cahaya bulan. "Namaku Kai," katanya, menyebutkan nama yang terasa asing namun juga begitu akrab di benak Anya. "Dan kau, Elara, adalah seorang Penjaga Takdir. Jiwamu telah bereinkarnasi ribuan kali, dan setiap kali, kau ditakdirkan untuk melindungiku, dan dunia ini, dari ancaman yang sama yang selalu bangkit."

Anya terhuyung, seolah sebuah pukulan tak terlihat menghantam dadanya. "Reinkarnasi? Penjaga Takdir? Ini semua gila!" Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis informasi yang terlalu luar biasa itu. Ini pasti lelucon, atau ia benar-benar gila. Rio, pekerjaannya, kehidupannya yang normal... semuanya seolah tercabut dari akarnya.

Kai bangkit dari tempat duduknya, gerakannya anggun dan tanpa cela, mendekati Anya dengan langkah tenang. "Gerhana kemarin adalah saat kekuatanmu mulai bangkit, Elara. Saat segel ingatanmu yang telah terkunci ribuan tahun mulai retak. Ingatanmu tersegel, untuk melindungimu dari penderitaan masa lalu, dan untuk membiarkanmu menjalani kehidupan yang normal. Tapi sekarang, musuh kita semakin kuat, kegelapan menyebar, dan kita membutuhkanmu."

Ia mengulurkan tangannya ke arah Anya, telapak tangannya terbuka. "Sentuh aku. Biarkan aku membimbingmu. Biarkan aku membuka ingatanmu, sepotong demi sepotong."

Anya ragu. Naluri rasionalnya berteriak untuk lari. Kembali ke Rio, ke apartemennya, ke kehidupannya yang aman. Namun, ada dorongan lain yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ikatan tak terlihat yang menariknya ke arah Kai. Sebuah rasa percaya yang aneh, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup, meskipun ia baru bertemu dengannya semalam. Dengan napas tertahan, ia memberanikan diri, meraih tangan Kai.

Saat kulit mereka bersentuhan, sebuah sensasi listrik menjalari lengan Anya, diikuti oleh ledakan cahaya. Cahaya keemasan dari Kai dan cahaya biru yang kini berpendar samar dari tubuh Anya berpadu kuat, menyelimuti mereka berdua dalam sebuah pusaran energi. Ribuan gambar, suara, dan emosi menyerbu benak Anya sekaligus, seolah bendungan telah pecah. Ia melihat dirinya di masa lalu, bukan sebagai Anya, melainkan sebagai Elara—seorang prajurit wanita yang gagah berani, mengenakan zirah kulit, rambut hitamnya dikepang, menguasai elemen alam, bertarung berdampingan dengan Kai di medan perang yang diselimuti kabut. Ia melihat mereka tertawa, berjuang, dan berbagi momen keheningan yang penuh makna. Ia melihat pengkhianatan yang mengerikan, kehancuran yang tak terhindarkan, dan janji yang mereka buat di ambang kematian, sebuah janji untuk bertemu lagi, di kehidupan selanjutnya, untuk melanjutkan perjuangan.


Air mata mengalir di pipi Anya, bukan karena kesedihan semata, tapi karena campuran kesedihan, pemahaman, dan pengakuan. Ketika cahaya meredup, dan ingatan itu meresap ke dalam dirinya, ia terengah-engah. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan duka ribuan tahun dan juga sebuah tekad baru yang membara.

"Kita... kita adalah Penjaga," bisiknya, suaranya parau. Ia mengangkat tangan kirinya, dan kali ini, simbol biru kehijauan itu bersinar terang di pergelangan tangannya, bukan hanya pendaran samar, melainkan memancarkan cahaya yang stabil. "Aku mengingatnya. Aku Elara."

Kai tersenyum, senyum tulus yang memancarkan kelegaan yang mendalam, seolah beban ribuan tahun terangkat dari bahunya. "Ya. Dan sekarang, kita harus bersiap. Mereka akan datang."

Kata-kata Kai baru saja terucap, ketika tanah bergetar hebat. Bukan gempa bumi, melainkan getaran yang lebih halus namun penuh ancaman. Udara di sekitar mereka menjadi dingin dan berat, bau amis yang tak menyenangkan menyeruak, seperti bau darah dan besi tua. Dari balik reruntuhan pilar-pilar kuil yang menjulang, di antara bayangan pohon dan dinding yang hancur, lima sosok bayangan muncul, mata mereka merah menyala seperti bara api, memancarkan aura kegelapan yang pekat dan memuakkan. Mereka tidak bergerak seperti manusia, melainkan melayang atau melesat, dengan gerakan patah-patah yang mengerikan. Di tangan mereka, mereka memegang senjata aneh yang terbuat dari bayangan yang berputar, pedang dan cakar yang tampak solid namun juga tembus pandang.

"Mereka sudah tahu kau bangkit, Elara," kata Kai, ekspresi wajahnya berubah serius, tatapannya menajam, kini fokus sepenuhnya pada ancaman di depan mereka. Ia melangkah sedikit ke depan, melindungi Anya di belakangnya. "Kita harus bertarung."

Salah satu sosok bayangan melesat maju dengan kecepatan luar biasa, terlalu cepat untuk ditangkap mata biasa, senjatanya mengincar tepat di jantung Anya. Tanpa berpikir, tanpa instruksi, Anya mengangkat kedua tangannya. Sebuah dinding energi biru samar, yang kini memancarkan cahaya terang, tiba-tiba muncul di depannya, menahan serangan itu dengan benturan yang nyaring. Sosok bayangan itu terdorong mundur, mengeluarkan suara mendesis yang menusuk telinga. Matanya Anya kini bersinar dengan cahaya biru yang jelas, memancarkan kekuatan yang baru ditemukan, sekaligus ancaman.

Judul Novel: Simfoni Bayangan dan Takdir

Anda dapat membaca keseluruhan ceritanya DISINI

Mengulas berbagai produk untuk menginformasikan kepada pembaca setia kami